Oleh: Muhammad Izzul Muslimin
Mungkinkah perempuan
memimpin persyarikatan Muhammadiyah ? Dalam batas wacana pertanyaan itu dapat
dijawab dengan tegas, bisa! Jangankan memimpin persyarikatan Muhammadiyah,
memimpin negara pun Muhammadiyah tidak berkeberatan. Hal itu sudah menjadi keputusan Musyawarah Lajnah Tarjih pada
Muktamarnya yang ke XVII di Pencongan, Wiradesa Kabupaten Pekalongan pada tahun
1972. (Soal bolehnya kepemimpinan perempuan menurut pandangan Muhammadiyah dapat dibaca dalam Adabul Mar’ah fil Islam
pada bab VIII dengan judul “Bolehkah
wanita menjadi Hakim?”).
Pertanyaan
yang patut diajukan kemudian, mungkinkah wacana perempuan menjadi pemimpin itu
dapat diterima di Muhammadiyah tidak hanya sebatas wacana tetapi menjadi sebuah
realitas yang diterima secara lebih terbuka? Muhammadiyah memang tidak menolak
wanita menjadi pemimpin, tetapi mungkinkah Muhammadiyah mendorong kaum
perempuan tampil menjadi pemimpin?
Realitas
menunjukkan masih sulit bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi pemimpin. Di
samping persoalan syariat, masih ada persoalan struktur dan kultur sosial yang
menyebabkan seorang pemimpin perempuan susah dilahirkan. Di lingkungan
Muhammadiyah sendiri peran perempuan selama ini tersubordinasi dalam organisasi
otonom Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Dengan alasan sudah terwadahi dalam
Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah kurang diberi peran
dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Akibatnya Muhammadiyah yang sesungguhnya bukan
organisasi kaum laki-laki saja, dalam kenyataannya lebih banyak didominasi oleh
kaum laki-laki. Sangat sedikit wanita yang menduduki posisi pimpinan dalam Muhammadiyah.
Kalaupun ada mungkin hanya di Majelis atau Lembaga Pembantu Pimpinan.
Problem Kepemimpinan Perempuan
Sebenarnya
dengan mewadahi para perempuan Muhammadiyah di Aisyiyah maupun Nasyiatul
Aisyiyah, para perempuan Muhammadiyah memiliki kiprah dan andil yang sangat
besar dalam mengembangkan Muhammadiyah terutama di lingkungan masyarakat paling
bawah. Kegiatan pengajian dan pendidikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul
Athfal (TK ABA) yang merupakan kegiatan Aisyiyah sangat menonjol di lingkungan
kehidupan masyarakat yang paling bawah, yaitu pada tingkat kampung dan desa.
Denyut nadi Muhammadiyah di level bawah justru banyak diwarnai oleh pengajian
ibu-ibu Aisyiyah yang notabene adalah aktivitas Muhammadiyah perempuan.
Kenyataan ini sangat berkebalikan pada tingkat elit dimana kepemimpinan
perempuan Muhammadiyah kurang tampak menonjol. Popularitas dan suara tokoh
Aisyiyah tidak setenar dan selantang popularitas dan suara teman seperjuangannya yang berada di Muhammadiyah
yang umumnya kaum laki-laki.
Mengapa
tokoh Aisyiyah mengalami hambatan demikian? Ada dua kemungkinan untuk menjawab
pertanyaan ini. Pertama, mungkin karena posisi subordinat Aisyiyah sebagai
organisasi Otonom Muhammadiyah yang menjadikan tokoh perempuan Muhammadiyah
menjadi gamang untuk bersikap atau bersuara. Ada kekhawatiran jika mereka
bersikap atau bersuara, ada kemungkinan akan berbeda dengan Muhammadiyah, yang
berarti melanggar ketentuan dimana organisasi otonom harus segaris dengan
kebijakan Muhammadiyah. Kedua, dalam posisi subordinat maka tokoh perempuan
Muhammadiyah tidak terbiasa menghadapi persoalan-persoalan besar yang biasanya
menjadi garapan dan tanggung jawab Muhammadiyah.
Kenyataan yang ada dalam
Muhammadiyah ini sebenarnya juga melanda hampir sebagian besar Ormas lainnya di
Indonesia, bahkan boleh dikatakan itu sudah menjadi realitas sosial bangsa ini
dimana dominasi patriarkhi memang masih sangat besar dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Tetapi dengan melihat posisi Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharuan Islam dan gerakan modernis Islam di Indonesia, kenyataan ini
sangatlah memprihatinkan. Muhammadiyah
sangat diharapkan bisa menjadi pelopor pemberdayaan perempuan Islam
dalam peran sosial kemasyarakatannya setelah sebelumnya Muhammadiyah dianggap
cukup berhasil dalam mempelopori peningkatan pendidikan kaum perempuan Islam di
Indonesia.
Pemberdayaan perempuan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah suatu konsekuensi logis dari upaya
pemberdayaan pendidikan kaum perempuan. Ketika tingkat pendidikan kaum perempuan
telah cukup baik dan sejajar dengan kaum laki-laki, maka adalah sangat logis
jika mereka juga diberi kesempatan dan peran sosial yang sama nilainya dengan
para kaum laki-laki.
Rekayasa Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan
perempuan akan sangat sulit dilahirkan selama struktur sosial tidak diubah atau
direkayasa. Kesadaran untuk melahirkan
kepemimpinan perempuan memang harus berangkat bersama-sama dari kaum laki-laki
dan perempuan. Pernyataan yang mengatakan “biarlah perempuan berjuang sendiri
untuk mendapatkan kepemimpinannya” akan sangat tidak bijak ketika keadaan tidak
kondusif untuk menuju ke arah demikian. Membiarkan kaum perempuan berjuang
sendiri untuk melawan dominasi laki-laki juga akan berdampak kepada munculnya
perasaan iri, bahkan permusuhan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki
mengingat kaum perempuan kenyataannya secara struktural dan kultural mereka
tidak diberi kesempatan yang sama fair-nya dengan kaum laki-laki.
Di sisi lain, rekayasa
yang berlebihan sehingga seolah menganak-emaskan kaum perempuan dalam meraih
posisi kepemimpinannya dibandingkan kaum laki-laki juga akan berdampak tidak
baik bagi kaum perempuan itu sendiri maupun bagi laki-laki. Oleh karena itu
perlu dicari formulasi yang tepat dimana rekayasa sosial untuk melahirkan
pemimpin perempuan di satu sisi tidak menimbulkan sikap diskriminatif terhadap
kaum perempuan dan pada sisi yang lain tidak menganak-emaskan kaum perempuan.
Memunculkan
kepemimpinan perempuan seharusnya tidak didasari atas pertimbangan karena dia
perempuan, tetapi harus berangkat dari pengakuan atas potensi kepemimpinan
seseorang terlepas apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan. Dengan
demikian, yang perlu diciptakan adalah bagaimana seseorang yang memiliki bakat
kepemimpinan baik laki-laki maupun perempuan, diberikan peluang yang sama dalam
meraih posisi kepemimpinannya.
Perlukah Perempuan Mendapatkan Jatah Kepemimpinan ?
Ada
yang menarik ketika pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar bulan Januari
lalu membahas soal keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Dalam pembahasan Anggaran Rumah Tangga mengenai pasal kepemimpinan, ada
perdebatan yang seru mengenai perlu tidaknya perempuan secara eksplisit
dinyatakan harus masuk dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Ada sebagian pandangan
yang mengatakan bahwa dengan mencantumkan perempuan secara eksplisit dalam
kepemimpinan Muhammadiyah justru akan mengesankan adanya diskriminasi dalam
kepemimpinan Muhammadiyah. Padahal sampai saat ini Muhammadiyah tidak pernah
menghalang-halangi perempuan untuk masuk dalam kepemimpinan Muhammadiyah.
Artinya dengan dicantumkannya secara eksplisit jatah kepemimpinan bagi
perempuan justru memberi kesan seolah-olah perempuan bisa masuk dalam
kepemimpinan Muhammadiyah hanya karena belas kasihan, bukan melalui proses
seleksi yang wajar. Sebaliknya ada juga pandangan lain yang berpendapat bahwa
tanpa dieksplisitkannya keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah
maka akan sangat sulit dicapai kesempatan bagi para perempuan masuk dalam
kepemimpinan. Hal ini bukan karena persoalan kemampuan yang menjadi kendala,
tetapi lebih karena faktor sosio kultural yang belum mendukung. Oleh karena itu
dengan dicantumkannya secara eksplisit keberadaan kaum perempuan dalam
kepemimpinan Muhammadiyah justru memberi kesempatan yang lebih besar bagi para
perempuan Muhammadiyah tanpa harus terhambat masalah di luar soal kemampuan.
Nampaknya sebagian besar
anggota Tanwir lebih memilih alasan yang kedua, yaitu mencantumkan secara
eksplisit keberadaan perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Hanya saja
semangat untuk memasukkan unsur perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah itu
terpaksa harus ditunda karena ada perbedaan teknis yang belum dapat diputuskan
dalam sidang Tanwir yang lalu. Persoalan teknis tersebut ialah berkaitan siapa
yang berhak mewakili kepemimpinan perempuan dalam Muhammadiyah. Sebagian
anggota Tanwir menginginkan agar siapa saja perempuan anggota Muhammadiyah yang
dianggap mampu dan memenuhi syarat dapat menjadi pimpinan Muhammadiyah. Sementara pendapat lain menghendaki agar
kepemimpinan perempuan dalam Muhammadiyah diwakili secara ex-offisio oleh ketua
Aisyiyah. Akhirnya Tanwir memutuskan
untuk mengagendakan persoalan ini pada sidang Tanwir tahun yang akan datang.
Terlepas dari perbedaan
pendapat siapa unsur perempuan yang tepat untuk duduk dalam kepemimpinan
Muhammadiyah, tentu keputusan Tanwir yang lalu merupakan sebuah kemajuan besar
bagi Muhammadiyah, dan bila itu dapat terealisasikan maka dapat dikatakan
Muhammadiyah punya peran besar dalam proses pemberdayaan kepemimpinan perempuan
di masa depan.
Tantangan Bagi Kaum Perempuan Muhammadiyah
Yang perlu dipikirkan
selanjutnya adalah bagaimana agar peluang besar yang dibuka oleh Muhammadiyah
melalui Anggaran Rumah Tangganya tersebut dapat direspon secara positif oleh
warga Muhammadiyah baik perempuan maupun laki-laki. Para anggota Muhammadiyah
perempuan hendaknya mulai sekarang harus menata diri sehingga ketika peluang
itu dibuka nantinya tidak lagi timbul kegamangan dari para perempuan
Muhammadiyah untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan para
partnernya yang laki-laki. Jangan sampai timbul kesan bahwa perempuan dapat
memimpin di Muhammadiyah hanya karena ada dispensasi. Akan lebih baik jika para
perempuan Muhammadiyah masuk menjadi pimpinan Muhammadiyah karena melalui
proses seleksi yang fair dan didasarkan atas kualitas kemampuannya, bukan
sebagaimana kekhawatiran sebagian pihak, jadi pimpinan karena rasa belas
kasihan.
Demikian pula bagi para
anggota Muhammadiyah yang laki-laki, sudah saatnya dalam alam pikirannya
memberi peluang bagi para perempuan untuk memimpin, ketika memang mereka punya
kapasitas untuk itu. Jangan sampai karena egonya sebagai laki-laki lalu
menghambat perempuan untuk berprestasi dan beramal di Muhammadiyah dengan berlindung
dibalik alasan syariat, budaya, maupun etika.
Selamat berjuang kaum
perempuan Muhammadiyah, umat menanti kiprahmu !
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 08 2002
beberapa di edit untuk lengkapnya silahkan kunjungi Sumber : http://directory.umm.ac.id/
atau bisa di download link di bawah ini
http://directory.umm.ac.id/Suara_Muhammadiyah/SM_08_02/PEREMPUAN%20DALAM%20KEPEMIMPINAN%20MUHAMMADIYAH.doc
